Manusia Dan Agama

MANUSIA DAN AGAMA

  1. PENDAHULUAN

Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

  1. RUMUSAN MASALAH

Untuk mengkaji masalahan yang terdapat dalam makalah “Manusia dan Agama” ini, kelompok kami akan membuat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas:

  1. Pengertian manusia
  2. Hakekat manusia
  3. Pengertian agama
  4. Karateristik agama
  5. Hubungan agama dengan manusia dalam kehidupan

III.                   PEMBAHASAN

  1. MANUSIA
  2. Pengertian Manusia dalam Alqur’an

Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.

Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.

Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.

Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.

Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1]

Dari uraian ketiga makna untuk manusia tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk biologis,psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[2]

  1. Tujuan Penciptaan Manusia

Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya memperhambakan diri, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah agar ia beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang dikandung oleh kata memperhambakan dirinya sebagai hamba  Allah. Berbuat sesuai dengan kehendak dan kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[3]

  1. Fungsi dan Kedudukan Manusia

Sebagai orang yang beriman kepada Allah, segala pernyataan yang keluar dari mulut tentunya dapat tersingkap dengan jelas dan lugas lewat kitab suci Al-Qur’an sebagai satu kitab yang abadi. Dia menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia itu agar ia menjadi khalifah (pemimpin) di atas bumi ini dan kedudukan ini sudah tampak jelas pada diri Adam (QS Al-An’am [6]:165 dan QS Al-Baqarah [2]:30) di sisi Allah menganugerahkan kepada manusia segala yang ada dibumi, semula itu untuk kepentingan manusia (ia menciptakan untukmu seluruh apa yang ada dibumi ini. QS Al-Baqarah [2]:29). Maka sebagai tanggung jawab kekhalifahan dan tugas utama umat manusia sebagai makhluk Allah, ia harus selalu menghambakan dirinyakepada Allah Swt.

Untuk mempertahankan posisi manusia tersebut, Tuhan menjadikan alam ini lebih rendah martabatnya daripada  manusia. Oleh karena itu, manusia diarahkan Tuhan agar tidak tunduk kepada alam, gejala alam (QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya tunduk kepada-Nya saja sebagai hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56). Manusia harus menaklukanya, dengan kata lain manusia harus membebaskan dirinya dari mensakralkan atau menuhankan alam.

Jadi dari uraian tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan secara singkat bahwa manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56) dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah (QS Al-Baqarah [2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur alam dan mengelolanya untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah.

  1. HAKEKAT MANUSIA

Hakekat manusia adalah sebagai berikut :

  1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
  2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya serta mampu menentukan nasibnya.
  3. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
  4. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
  5. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
  6. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
  7. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
  8. Makhluk yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti mencari jawaban, mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[4]
  1. Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).

Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.

Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teorisuperego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.

Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.

  1. Hakekat Manusia (Menurut Islam– Mohammad Sholihuddin, M.HI)

Manusia terdiri dari sekumpulan organ tubuh, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi Secara Spiritual manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar manusia menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani, manusia mempunyai akal dan hati untuk berfikir(kognitif), rasa(affektif), dan perilaku(psikomotorik).Manusia diciptakan dengan untuk mempunyai kecerdasan.[5]

  1. AGAMA
  2. Pengertian Agama

Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan kata “din” menyandang arti antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.

Secara istilah (terminologi) agama, seperti ditulisoleh Anshari bahwa walaupun agama, din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pengertian teknis terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu:

  1. Agama, din, religion adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
  2. Agama juga adalah sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
  3. Di samping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub diatas.

Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktik yang dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat.

Dengan demikian, mengikuti pendapat Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saaat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat ditarima secara universal.[6]

  1. Syarat-Syarat Agama
  1. Percaya dengan adanya Tuhan
  2. Mempunyai kitab suci sebagai pandangan hidup umat-umatnya
  3. Mempunyai tempat suci
  4. Mempunyai Nabi atau orang suci sebagai panutan
  5. Mempunyai hari raya keagamaan
  6. Unsur-Unsur Agama

Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:

  1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
  2. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
  3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agam.
  4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
  5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
  6. Fungsi Agama
  • Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
  • Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
  • Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
  • Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
  • Pedoman perasaan keyakinan
  • Pedoman keberadaan
  • Pengungkapan estetika (keindahan)
  • Pedoman rekreasi dan hiburan
  • Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.[7]

D.      KARATERISTIK AGAMA

Karakteristik agama dalam kehidupan manusia seperti halnya bangunan yang sempurna. Seperti dalam salah satu sabda nabi Muhammmad,bahwa beliau adalah penyempurna bangunan agama tauhid yang telah dibawa oleh para nabi dan rosul sebelum kedatangan beliau.

Layaknya sebuah bangunan agamapun harus memiliki rangka yang kokoh, tegas, dan jelas. Rangka yang baik adalah rangka yang menguatkan bangunan yang akan dibangun diatasnya. Memiliki ukuran yang simetris satu sama lainnya. Komposisi bahan yang tepat karena berperan sebagai penopang. Oleh sebab itu, kerangka harus memiliki luas yang cukup atau memiliki perbandingan yang sesuai dengan bangunannnya. Itulah sebaik-baiknya agama dengan demikian agama pada dasarnya berperan sebagai pedoman kehidupan manusia, untuk menjalani kehidupannya dibumi. Manusia akan kehilangan pedoman atau pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia bila tidak berpedoman pada agama. Dewasa ini agama mengalami beralih dan berpedoman kepada akal logikanya. Padahal akal dan logika manusia memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan melihat masa depan. Sedangkan agama telah disusun sedemikian rupa oleh sang pencipta agar menjadi pedoman sepanjang hayat manusia. Akibat dari skularisme ini mnimbulkan gaya hidup baru bagi kaum muslim yakni gaya hidup hedomisme dan pragmatis.

Adapun karakteristik agama pada umumnya adalah sebagai berikut:

  1. Agama adalah suatu sistem tauhid atau sistem ketuhanan(keyakinan) terhadap eksistensi suatu yang absolut(mutlak), diluar diri manusia yang merupakan pangkal pertama dari segala sesuatu termasuk dunia dengan segala isinya.
  2. Agama merupakan sistem ritual atau peribadatan(penyembahan) dari manusia kepada suatu yang absolut.
  3. Agama adlah suatu sistem nilai atau norma (kaidah) yang menjadi pola hubungan manusiawi antara sesama manusia dan pola hubungan dengan ciptaan lainnya dari yang absolut.
  4. HUBUNGAN AGAMA DENGAN MANUSIA DALAM KEHIDUPAN

Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Sejak awal manusia berbudaya, agama dan kehidupan beragama tersebut telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari semua perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan goib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi untuk memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan gaib tersebut, agar mendapatkan kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi “apa” dan “siapa” kekuatan gaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara berkomunikasi dan memohon peeerlindungan dan bantuan tersebut, mereka tidak tahu. Mereka hanya merasakan adanya da kebutuhan akan bantuan dan perlindunganya. Itulah awal rasa agama, yang merupakan desakan dari dalam diri mereka, yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan. Dengan demikian rasa agama dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia. [8]

  1. Perkembangan Agama Dan Kehidupan Budaya Manusia

Pada tahap awalnya nampak bahwa agama mendominasi kehidupan budaya masyarakat, kemudian dengan adanya perkembangan akal dan budidaya manusia, maka mulai nampak gejala terjadinya proses pergeseran dominasi agama tersebut, yang pada giliran selanjutnya tersingkirkan dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Namun demikan dengan tersingkirnya dominasi agama itu, maka pertumbuhan dan perkembangan sistem budaya dan peradaban manusia nampak menjadi kehilangan arah dan tujuannya yang pasti, sehingga mereka memerlukan lagi terhadap agama, bukan sebagai yang mendomianasi, tetapi sebagai petunjuk da pengarah kehidupan mereka.

Perkembangan agama dan kehidupan budaya umat manusia dalam proses sejarah yang panjang tersebut dapat dilihat secara selintas pada pertumbuhan dan perkembangan manusia secara individual. Pada tahap awalnya kehidupan manusia diliputi oleh ketidak-tahuan dan ketidak-berdayaan, sehingga sifat ketergantungan pada orang tua (yang memelihara) sangat menonjol. Setelah akal fikiran dan kemampuan budidayanya tumbuh dan berkembang, maka sifat ketergantungan itu semakin berkurang, dan setelah menginajak dewasa sifat kemandiriannya inilah manusia memerlukan adanya pedoman hidup, karena tanpa pedoman/tujuan yang pasti, maka kemandirian akan menimbulkan kekacauan dan malapetaka dalam kehidupan manusia. Kemudian pada masa tua, dimana kemampuan akal fikiran dan budidaya manusia sudah mulai berkurang, maka manusia memerlukan kembali tempat bergantung yang pasti sebagai tempat kembali.

Kalau di hubungkan dengan hukum perkembangan, ketiga tahap perkembangan jiwa atau masyarakat/budaya manusia itu adalah pada tahap awal (masa kanak-kanak) disebut dengan tahap teologik, fiktif; masa remaja (masa tumbuh dan berkembangnya pemikiran abstrak) sebagai tahap metafisik atau abstrak; dan masa dewasa sebagai tahappositif atau riil. Sedangkan masa tua sebagai kelanjutan perkembangan lebih lanjut dari tahap positif  atau riil tersebut.[9]

  1. KESIMPULAN

Manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah), mengantur alam dan mengelolanya untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah. Rasa agama dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia.

  1. PENUTUP

Demikian  makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah  ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Fathoni Ahmad Miftah Drs., M.Ag, Pengantar Studi Islam, 2001,  Semarang, Gunung Jati.

Supadie Didiek Ahmad,dkk. Pengantar Studi Islam, 2011 , Jakarta, Rajawali Pers.

http://almanhaj.or.id/content/3191/slash/0/karakteristik-agama-islam/Muhaiman dkk,

Muhaiman Dimensi-Dimensi Studi Islam, 1994, Surabaya,Karya Abditama

Syukur Amin Prof. Dr. H. M., MA, Pengantar Studi Islam, 2010, Semarang, Pustaka Nuun

sumber : http://xpresikan-212.blogspot.com/

 

Keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an

Berikut inipun diungkap ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an, yang menerangkan tentang keberadaan Allah, seperti: “di atas ‘Arsy-Nya” (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5,QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), “di langit” (pada QS.67:16), “Maha Dekat” (pada QS.34:50), “dekat” (pada QS.2:186), “lebih dekat daripada urat leher” (pada QS.50:16), “dekat ke jiwa-ruh-nyawa” (pada QS.56:85) dan “dimana-mana” (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115), beserta ayat-ayat lainnya yang terkait.

“Sesungguhnya Rabb-kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. …” – (QS.7:54) dan (QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4).

“Apakah kamu merasa (aman) terhadap Allah, Yang di langit, bahwa Dia menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang,” – (QS.67:16).

“…. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat.” – (QS.34:50).

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. …” – (QS.2:186).

“Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,” – (QS.50:16).

“dan Kami lebih dekat kepadanya (nyawamu), daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat,” – (QS.56:85).

“…. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat, apa yang kamu kerjakan.” – (QS.57:4).

“…. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka, di manapun mereka berada. …” – (QS.58:7).

“Dan kepunyaan-Nya-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah (ada) wajah-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui.” – (QS.2:115).

 

“Dan Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air (di langit), …” – (QS.11:7).

“Allah, tiada Ilah Yang disembah, kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai ‘Arsy yang besar’.” – (QS.27:26).

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh, dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?’. …” – (QS.23:86-87).

“…. Kursi Allah (tempat keberadaan Allah) meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” – (QS.2:255).

‘Esensi’ Zat Allah, tersucikan dari segala sesuatu hal

Perlu diketahui, bahwa tiap zat pasti memiliki ‘esensi’ dan/atau ‘perbuatan’. Karena keberadaan suatu zat telah terbukti, jika salah-satu dari keduanya bisa dibuktikan. Namun ‘esensi’ Zat Allah, Yang Maha Gaib dan Maha Suci, memang tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh segala alat indera ‘lahiriah’ (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb) dan alat indera ‘batiniah’ (hati / kalbu), pada tiap makhluk ciptaan-Nya (bahkan juga termasuk para malaikat-Nya dan para nabi-Nya), di dunia dan di akhirat. ‘Esensi’ Zat Allah juga mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Maka keberadaan Zat Allah memang hanya bisa dibuktikan, melalui pengamatan atas hasil segala ‘perbuatan’ Zat Allah di alam semesta (“tanda-tanda kekuasaan-Nya”).

Hal itu relatif mudah dipahami, karena segala sesuatu hal di alam semesta, tentunya hanya berupa hal-hal yang bisa dijangkau oleh segala alat indera lahiriah ataupun batiniah pada tiap makhluk, secara langsung ataupun tidak (tanpa / dengan alat). Sedangkan segala sesuatu hal yang bisa dipikirkan oleh tiap makhluk, tentunya hanya hasil dari segala olahan akalnya, berdasar atas hal-hal yang telah bisa dijangkau oleh segala alat inderanya (hampir mustahil memikirkan hal-hal yang justru sama sekali tidak diketahuinya sedikitpun).

Padahal di lain pihak, “tidak ada sesuatupun di alam semesta, yang setara ataupun serupa dengan ‘Zat Allah'”. Maka ‘esensi’ Zat Allah tentunya sama sekali berbeda, daripada hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala alat indera dan akal-pikiran pada ‘segala’ makhluk. Sedangkan hasil dari segala ‘perbuatan’ Zat Allah di alam semesta, tentunya hanya berupa hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala alat indera dan akal-pikiran pada ‘segala’ makhluk (pasti ‘terwujud’ melalui segala sesuatu hal yang terdapat di alam semesta).

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, …” – (QS.6:103) dan (QS.50:33).

“dan tidak ada seorangpun (sesuatupun), yang setara (serupa) dengan Dia.” – (QS.112:4) dan (QS.42:11).

Membicarakan ‘esensi’ Zat Allah, bisa melahirkan kemusyrikan

Sedangkan segala usaha manusia dalam membicarakan, menguraikan, menjelaskan, mendefinisikan ataupun mendeskripsikan tentang ‘esensi’ Zat Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta alam semesta yang sebenarnya, justru pasti akan menghadapi segala dilema atau kegagalan. Terutama hal inipun pasti melahirkan segala bentuk ‘ketidak sempurnaan’, dalam pemahaman umat manusia tentang sifat-sifat Allah, Tuhan Yang Maha Sempurna.

Bahkan paling parahnya, hal ini justru bisa melahirkan segala bentuk ‘kemusyrikan’ (menyekutukan Allah), seperti halnya yang biasanya diketahui terjadi, pada agama-agama yang ‘musyrik’ (Tuhannya ‘tidak sempurna’, dan berupa seperti: para malaikat, para dewa, manusia biasa, patung / berhala, dsb). Dengan diakui ataupun tidak, hal ini justru biasanya sekaligus pula melahirkan ‘banyak’ Tuhan (politeisme), yang masing-masingnya bisa relatif ‘sempurna’, hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja. Maka agama-agama seperti itupun perlu ‘banyak’ Tuhan, agar bisa terbentuk kesempurnaan ketuhanan yang utuh.

“Maha Suci dan Maha Tinggi Dia, dari apa yang mereka katakan (sifatkan), dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.” – (QS.17:43) dan (QS.21:22,QS.23:91, QS.37:159, QS.43:82).

“…. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” – (QS.16:1) dan (QS.10:18, QS.28:68, QS.30:40, QS.39:67).

“…. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” – (QS.2:22) dan (QS.4:36, QS.6:150-151,QS.16:74, QS.18:110, QS.28:87, QS.30:31, QS.31:13).

Tidak ada keterangan tentang ‘esensi’ Zat Allah, dalam kitab suci Al-Qur’an

Perlu diketahui pula, bahwa dalam kitab suci Al-Qur’an justru tidak pernah disebut tentang ‘esensi’ Zat Allah, namun hanya disebut tentang segala ‘perbuatan’ Zat Allah. Juga serupa halnya dengan seluruh sifat dan nama Allah, tidak ada yang terkait dengan ‘esensi’ Zat Allah. Bahkan sifat-sifat-Nya yang seolah-olah terkait dengan ‘esensi’ Zat Allah, antara lain: Ada (wujud), Maha Esa, Maha Gaib (Tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Hidup, dsb, justru hanya diperoleh dari mempelajari segala hasil ‘perbuatan’ Zat Allah di alam semesta, seperti halnya bagi seluruh sifat-Nya lainnya.

Tentunya untuk memahami hal di atas, umat Islam memang mestinya mempelajari kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab Hadits Nabi, ataupun bahkan segala kitab dan risalah dari para nabi-Nya terdahulu, secara amat hati-hati dan cermat, ayat-per-ayat. Hal seperti ini amat perlu dilakukan, agar umatpun bisa menjawab, “apakah para nabi-Nya benar-benar pernah menerangkan, tentang ‘esensi’ Zat Allah?”, “apakah nabi Musa as benar-benar bisa melihat dan berbicara dengan Allah?” dan “apakah segala perbuatan Allah di alam semesta (selain penciptaan paling awalnya), benar-benar dilakukan ‘langsung’ oleh Allah sendiri?”.

Sedangkan jawaban penulis atas semua pertanyaan seperti ini jelas “tidak”. Karena segala makhluk mustahil menjangkau ‘segala sesuatu hal’ tentang tiap ciptaan-Nya, apalagi tentang Zat Allah; ‘esensi’ dan ‘perbuatan’ Allah justru sama sekali berbeda daripada segala sesuatu hal pada tiap ciptaan-Nya; Allah bernteraksi dengan segala makhluk hanya semata dari balik ‘hijab-tabir-pembatas’ (pasti melalui perantaraan wahyu dan para utusan-Nya); kalam atau wahyu yang ‘sebenarnya’ hanya berupa ‘alam semesta’ (bentuk wahyu lainnya berupa hasil pemahaman atas alam semesta); juga segala perbuatan Allah di alam semesta (selain penciptaan paling awalnya), justru dilaksanakan oleh segala makhluk ciptaan-Nya, berdasar segala perintah-Nya, secara sadar ataupun tidak.

Baca pula Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah, yang perwujudannya memang dilaksanakan oleh segala makhluk ciptaan-Nya (terutama para malaikat-Nya). Serta juga Wahyu dan kitab-Nya memiliki 4 macam bentuk.

Lalu mungkin timbul pertanyaan “apakah keterangan tentang Allah, seperti: ‘kursi’, ‘wajah’, ‘tangan’, ‘kaki’, ‘pendengaran’, ‘penglihatan’, dsb, bukan menunjukkan ‘esensi’ Zat Allah?”. Jawaban ringkasnya, “hal-hal seperti ini hanya ‘contoh-perumpamaan simbolik’, bukan fakta-kenyataan yang sebenarnya”. Baca pula pada uraian berikut.

Segala hal ‘gaib’ mestinya selamanya tetap bersifat ‘gaib’

Hal yang relatif sering dilupakan oleh tiap umat Islam, bahwa hal-hal ‘gaib’ mestinya tetap ditempatkan sebagai ‘gaib’ (mestinya mustahil memiliki wujud ‘fisik-lahiriah-nyata’), termasuk mustahil bisa dirasakan atau diketahui, melalui segala alat indera fisik-lahiriah. Hal-hal ‘gaib’ hanya semata bisa dirasakan atau diketahui, melalui alat indera batiniah pada zat ruh tiap makhluk (“hati / kalbu”), ataupun lebih luasnya melalui akal-pikirannya.

Dengan sendirinya, pada pemahaman umat atas segala keterangan dalam kitab suci Al-Qur’an, tentang hal-hal ‘gaib’, juga mestinya tetap ditempatkan sebagai ‘gaib’, seperti: ‘esensi’ dan ‘perbuatan’ Zat Allah; ‘Arsy-Nya; Kitab mulia (Lauh Mahfuzh); zat ruh; para makhluk gaib; alam akhirat (Surga dan Neraka); Hari Kiamat; Qadla dan Qadar (Takdir); dsb. Maka segala keterangan seperti itu mestinya sekaligus tetap tidak dibandingkan atau dipadankan begitu saja, dengan segala wujud ‘fisik-lahiriah-nyata’. Khusus terkait dengan keberadaan Zat Allah, tentunya mestinya sama sekali tidak bisa ditunjuk ‘disini’ / ‘disitu’.

Di samping itu pula, bahwa dalam kitab suci Al-Qur’an justru banyak dipakai segala bentuk “contoh-perumpamaan simbolik”. Hal ini dipakai terutama untuk bisa meringkas, menyederhanakan dan memudahkan segala penjelasan bagi hal-hal gaib dan batiniah, yang sebenarnya relatif amat rumit dan panjang. Sedangkan hal-hal gaib dan batiniah memang sama sekali tidak memiliki bandingan atau padanan yang persis sama, secara fisik-lahiriah-nyata. Segala “contoh-perumpamaan simbolik” berupa analogi atau pendekatan, agar umat telah bisa merasakan secara ‘tak-langsung’, atas segala hal yang sebenarnya dimaksud ‘di baliknya’, walau belum benar-benar dipahaminya.

Di lain pihak, segala “contoh-perumpamaan simbolik” itu, beserta maknanya secara ‘tekstual-harfiah’, sama sekali bukan ‘kekeliruan’, bahkan tiap umat Islam justru tetap bisa memakainya dalam kehidupan beragamanya. Tetapi makna seperti inipun memang bukan berupa “makna yang sebenarnya” atau “makna yang tertinggi” (Al-Hikmah / hikmah dan hakekat kebenaran-Nya). Serta tiap “contoh-perumpamaan simbolik” itu sendiri tentunya justru bukan berupa fakta-kenyataan yang sebenarnya.

Akal-pikiran tiap makhluk, jangkauannya tertinggi

‘Esensi’ Zat Allah justru mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Sekalipun jangkauan akal-pikiran tiap makhluk justru relatif ‘tak-terbatas’, serta bisa melampaui jangkauan segala alat inderanya, misalnya bisa mencapai: dari saat paling awal penciptaan alam semesta, sampai saat berakhirnya (akhir jaman); dari isi perut Bumi terdalam, sampai di luar batas tepi alam semesta; dari materi yang terkecil, sampai benda langit yang terbesar; dari paling benar, sampai paling sesat; kecepatannya bisa melebihi kecepatan cahaya (bisa berubah amat sangat cepat); dsb.

Bahkan termasuk pula segala hal yang disebut dalam kitab suci Al-Qur’an, memang mestinya masih bisa dijangkaunya, karena Nabi memang mustahil menerangkan segala hal yang berada ‘di luar’ akal-pikiran manusia. Sedangkan umat-umat di jaman Nabi, tentunya justru meyakini dan mengikuti ajaran-ajaran Nabi, pasti karena memang ada mengandung ‘kebenaran’ di dalamnya (pasti bisa diterima oleh akal-pikiran mereka). Maka umat Islam mestinya bisa memisahkan atau membedakan, antara ‘amat sangat sulit’ terhadap ‘tidak bisa’ atau ‘mustahil’ dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk.

Dengan kata lainnya, segala sesuatu hal (nyata & gaib; lahiriah & batiniah; esensi & perbuatan; zat & non-zat; sedikit & banyak; mudah & rumit; jelas & kabur; dsb), “selain” tentang ‘esensi’ Zat Allah, tentunya justru mestinya masih bisa dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Ringkasnya, batasan akal-pikiran tiap makhluk justru hanya berupa ‘esensi’ Zat Allah. Sedangkan segala ‘perbuatan’ Zat Allah di alam semesta ini (melalui sunatullah), justru mestinya masih bisa dijangkaunya.

Baca pula keistimewaan akal-pikiran manusia, termasuk menurut Imam Al-Ghazali.

Segala perbuatan-Nya di alam semesta, dalam jangkauan akal-pikiran tiap makhluk

Segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), memang justru masih bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Hal ini terutama karena melalui segala perbuatan-Nya itu, Allah memang hendak menunjukkan kemuliaan, kekuasaan atau kesempurnaan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya, agar bisa mengenal-Nya, Tuhan Pencipta dirinya dan alam semesta, serta sekaligus pula agar bisa menyembah-Nya.

Hal ini juga karena perwujudan atau pelaksanaan sunatullah justru dilakukan ‘bukan langsung’ oleh Allah sendiri, tetapi oleh tak-terhitung jumlah makhluk ciptaan-Nya di alam semesta (terutama para malaikat-Nya), dengan segala macam tugasnya masing-masing, di dalam melaksanakan segala perintah-Nya, secara sadar ataupun tidak. Selain itu, tentunya karena perwujudan sunatullah justru bisa dilihat, dirasakan atau diketahui, melalui segala alat indera lahiriah ataupun batiniah, pada tiap makhluk.

Baca pula Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah.

Tiap makhluk bisa mengenal tindakan atau perbuatan-Nya, dengan cara mengamati segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi / berlaku) dan ‘kekal’ (pasti konsisten / tidak berubah-ubah). Karena hal seperti ini memang hanya semata hasil dari perbuatan-Nya, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Tetapi persoalan pengenalannya justru terletak pada segala kejadiannya, yang juga bersifat ‘gaib’ (tersembunyi / amat tidak jelas kentara).

Pertanyaannya, “apakah umat Islam juga harus kalah daripada kaum non-Muslim, dalam memahami hal-hal gaib?”. Sir Isaac Newton misalnya, justru telah pula ‘bertafakur’ di bawah pohon apel, agar bisa menjawab “kenapa apelnya bisa jatuh ke Bumi?”. Apel dan Bumi memang ‘nyata’, namun penyebab gravitasi justru ‘gaib’. Padahal di lain pihak, dalam kitab suci Al-Qur’an justru telah amat banyak, luas dan lengkap menerangkan hal-hal gaib. Maka tinggal kemauan umat Islam, untuk bisa relatif makin memperjelas, melengkapi dan menyempurnakannya, sesuai dengan kemajuan perkembangan ilmu-pengetahuan.

“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,”, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb-kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka’.” – (QS.3:190-191).

“…. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami), supaya kamu memikirkannya.” – (QS.57:17) dan (QS.16:11, QS.2:164, QS.13:3, QS.16:67, QS.16:69).

“…. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu memikirkannya.” – (QS.2:266) dan (QS.16:44).

Alam pikiran tiap makhluk (alam batiniah ruhnya) = alam akhiratnya

Di lain pihak, secara umum segala sesuatu hal di alam semesta bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar ‘alam’, yaitu: ‘alam dunia’ dan ‘alam akhirat’. Jika alam dunia berupa alam fisik-lahiriah, maka alam akhirat berupa alam batiniah ruh (alam pikiran). Alam dunia dan alam akhirat justru berlangsung secara bersamaan, walau keduanya memang berada pada aspek yang berbeda (aspek lahiriah dan aspek batiniah). Hal inipun tentunya jauh berbeda daripada pemahaman umat Islam pada umumnya, karena kehidupan alam akhirat justru dianggapnya terjadi, hanya setelah selesainya kehidupan alam dunia (setelah Hari Kiamat).

Padahal kehidupan alam akhirat bagi tiap makhluk, justru telah dimulai dan berlaku ‘kekal’ (bersama zat ruhnya), sejak saat awal penciptaan zat ruhnya (saat awal penciptaan alam semesta), sampai saat “dikehendaki-Nya” lain. Sedangkan kehidupan alam dunia bagi tiap makhluk nyata (termasuk tiap umat manusia), dimulai sejak saat zat ruhnya menyatu ke tubuh wadah fisik-lahiriahnya (ditiupkan-Nya ruh), sampai saat zat ruhnya terpisahkan dari tubuh wadahnya (dicabut atau diangkat-Nya ruh di Hari Kiamat / saat kematiannya). Maka kehidupan alam akhirat setelah Hari Kiamat, adalah kehidupan alam akhirat yang sebenarnya dan murni (tidak lagi ‘bercampur-baur’ dengan kehidupan alam dunia).

Baca pula tahapan umum kejadian manusia dan jagalah hati-pikiran, tentang kaitan antara alam pikiran, alam batiniah ruh dan alam akhirat pada tiap makhluk.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” – (QS.30:7).

‘Alam akhirat’ juga biasa disebut ‘alam atas’ atau ‘alam malakut’ (alam tempat para malaikat berada). Di alam pikiran tiap manusia misalnya, tiap saatnya memang pasti selalu diikuti, diawasi dan dijaga oleh sejumlah para makhluk gaib (para malaikat, jin, syaitan dan iblis), selama di dunia dan setelah Hari Kiamat, termasuk di dalam memberi segala bentuk ilham (positif dan negatif). Sedangkan ‘alam dunia’ juga biasa disebut ‘alam bawah’.

Alam pikiran tiap makhluk = langit yang sebenarnya dan tertinggi

Dengan adanya pengelompokan ‘alam dunia’ (alam fisik-lahiriah) dan ‘alam akhirat’ (alam batiniah ruh / alam pikiran), maka tentunya ada ‘langit lahiriah’ dan ‘langit batiniah’ bagi tiap alamnya. Dimana ‘langit lahiriah’ terisi oleh segala partikel-materi-benda di ‘alam semesta’. Sedangkan ‘langit batiniah’ terisi oleh segala bentuk ilmu-pengetahuan pada tiap makhluk, tentang segala sesuatu hal yang terkait dengan ‘alam semesta’.

Dimana ilmu-pengetahuan makhluk, antara lain meliputi: Pencipta alam semesta (sifat, kehendak, perbuatan-Nya, dsb); hakekat dan tujuan penciptaan; segala ‘zat’ (zat ruh dan zat materi) dan ‘non-zat’ (aturan, pengajaran, tuntunan-Nya, dsb); segala benda mati dan makhluk hidup; segala alam (akhirat, rahim, dunia, kubur, dsb); dan segala hal lainnya (lahiriah & batiniah, nyata & gaib, fisik & moril, mutlak & relatif, benar & sesat, obyektif & subyektif, hakiki & semu, dsb).

Maka ‘langit lahiriah’ tentunya justru lebih rendah daripada ‘langit batiniah’, karena jangkauan akal-pikiran tiap makhluk bisa melampaui ‘batas tepi’ alam semesta (termasuk bisa melampaui batas daya jangkauan teleskop atau alat indera fisik-lahiriah). Serta ‘langit batiniah’, adalah langit yang sebenarnya, paling tinggi dan sempurna, yang terletak di alam pikiran tiap makhluk.

Dengan begitu, umat Islam mestinya juga bisa membedakan, antara ‘langit lahiriah’ (di alam semesta) dan ‘langit batiniah’ (di alam pikiran tiap makhluk), yang disebut dalam kitab suci Al-Qur’an. Tentunya ‘langit’ yang disebut terkait dengan keberadaan ‘Arsy-Nya, justru hanya berupa ‘langit batiniah’ (bukan ‘langit lahiriah’). Serta ‘langit batiniah’ juga bisa terdiri dari ‘tujuh tingkat’ (tingkat kesempurnaan pengetahuan tentang kebenaran-Nya).

Bahkan perjalanan “‘Isra dan Mi’raj” yang dialami oleh nabi Muhammad saw, adalah perjalanan ‘batiniah’ saat menembus ‘langit batiniah’, sampai bisa ‘amat dekat’ ke hadapan ‘Arsy-Nya. Lebih jelasnya, perjalanan ini berupa pengembaraan kesadaran Nabi, pada saat sedang bertafakur, sambil dituntun oleh malaikat Jibril, dalam mencapai berbagai ‘hijab-tabir-pembatas’ terdekat (tertinggi), terhadap kebenaran ‘mutlak’ Allah di alam semesta. Pada saat itu Nabi telah bisa memperoleh banyak pemahaman Al-Hikmah (wahyu-Nya / hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang memang amat tinggi pula nilai kemuliaan dan keagungannya. Baca pula uraian-uraian di bawah.

Juga bisa mudah dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur’an disebut, seperti “Surga (di alam akhirat), seluas alam semesta (langit dan bumi)” dan “‘langit lahiriah’ adalah langit yang ‘dekat'”. Sekali lagi, hal ini karena ‘alam akhirat’ pada tiap makhluk (alam batiniah ruh / alam pikirannya), memang jangkauannya amat sangat luas, bahkan juga bisa melampaui ‘batas tepi’ alam semesta (‘langit lahiriah’), termasuk bisa menjangkau bertingkat-tingkat hakekat, ‘di balik’ segala hal yang teramati di alam semesta. Kesempurnaan pengetahuan makhluk tentang kebenaran-Nya di alam semesta, memang banyak tingkatannya (tingkat kedekatan antara kebenaran ‘relatif’ makhluk dan kebenaran ‘mutlak’ Allah).

Lebih spesifiknya lagi, karena segala kemuliaan dan keagungan yang diperoleh tiap makhluk di Surga, memang seluas segala keadaan batiniah ruhnya sendiri. Segala keadaan ini terbentuk dari hasil balasan-Nya, secara adil atau setimpal, atas segala amal-perbuatan makhluknya, selama hidup di dunia. Saat pemberian balasan-Nya juga pasti dihitung-Nya, secara amat teliti dan adil, atas segala keadaan batiniah ruhnya dalam berbuat, misalnya: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, beban ujian-Nya, beban tanggung-jawab, dsb.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu (bertaubat), dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa,” – (QS.3:133) dan (QS.57:21).

“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang, …” – (QS.67:5) dan (QS.37:6, QS.41:12).

Keimanan (kesempurnaan pemahaman atas kebenaran-Nya) = kedekatan di sisi-Nya

Dalam artikel/posting terdahulu “Cara proses diturunkan-Nya wahyu” sekilas telah diungkap, bahwa para nabi-Nya memiliki segala pemahaman yang relatif amat ‘sempurna’, tentang kebenaran-Nya di alam semesta (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta merekapun sekaligus relatif amat ‘konsisten’ pula mengamalkan segala pemahamannya tersebut, dalam kehidupannya sehari-harinya (terutama dalam melayani seluruh umatnya).

“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa, dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” – (QS.14:52) dan (QS.6:115).

“…. Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” – (QS.4:82).

“…, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an, sebelum disempurnakan diwahyukannya kepadamu, dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” – (QS.20:114).

“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. …” – (QS.28:14).

Maka mudah dipahami, jika para nabi-Nya memiliki ‘tingkat keimanan’ yang relatif paling tinggi, dibanding dengan seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya. Hal inipun karena ‘keimanan’ meliputi aspek ‘pemahaman’ (ilmu) dan aspek ‘pengamalan’ (amal). Jika pemahaman berupa keimanan ‘batiniah’, maka pengamalan berupa keimanan ‘lahiriah’.

Tiap pemahaman tanpa pengamalan, sama halnya suatu bentuk ‘kemunafikan’ (jika pemahamannya memang telah benar), ataupun sebaliknya pemahamannya sendiri belum benar atau belum sempurna (meragukan). Sedangkan tiap pengamalan tanpa pemahaman, sama halnya suatu bentuk ‘taklid’ (umat hanya mengikuti begitu saja, anjuran dari orang lain). Persoalan bisa amat mudah timbul pada tiap ‘taklid’, terutama jika pemahaman umat yang keliru atas anjurannya, ataupun sebaliknya anjurannya ada mengandung kekeliruan. Maka keimanan yang tinggi pasti tetap diperoleh hanya melalui gabungan sekaligus, antara ‘pemahaman’ yang sempurna dan ‘pengamalan’ yang konsisten.

Terkait dengan tingkat keimanan para nabi-Nya yang relatif paling tinggi, terutama akibat segala pemahamannya yang relatif amat ‘sempurna’ tentang kebenaran-Nya, maka dalam kitab suci Al-Qur’an, para nabi-Nya juga biasa disebut “amat dekat di sisi-Nya”. Hal inipun karena di sisi-Nya memang terdapat kitab mulia (Lauh Mahfuzh), sebagai ‘simbol’ tempat tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta.

Bahkan dalam kitab suci Al-Qur’an justru juga amat sering disebut berdampingan, antara ‘iman’ dan ‘amal’. Sehingga ‘keimanan’ memang lebih terfokus kepada ‘pemahaman’ (ilmu). Hal ini amat mudah dipahami, karena ‘ilmu’ memang berada di dalam pikiran tiap makhluk. Sedangkan tubuh wadah fisik-lahiriahnya, justru pasti hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah pikirannya (berdasar ilmu, pengetahuan atau kesadarannya). Ringkasnya, ‘pengamalan’ (amal) pasti timbul berdasar ‘pemahaman’ (ilmu). Sehingga juga amat mudah dipahami, jika justru amat banyak anjuran-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an, agar umat Islam menggunakan akalnya, bagi usaha peningkatan keimanannya. Sebaliknya Allah justru memurkai umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (pada QS.10:100).

“…, dia (nabi-Nya) mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami, dan tempat kembali yang baik.” – (QS.38:25) dan (QS.38:40, QS.33:69).

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan, serta rejeki (nikmat) yang mulia.” – (QS.8:4) dan (QS.9:20, QS.10:2).

“Dan orang-orang yang beriman, serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal (tinggal) di dalamnya.” – (QS.2:82) dan (QS.2:62, QS.2:277, QS.3:57, QS.4:57, QS.4:122, QS.4:173, QS.5:9, QS.5:69,QS.5:93, QS.7:42, QS.10:4, QS.10:9, QS.11:23, QS.13:29, QS.14:23, dsb).

“Dan tidak ada seorangpun akan beriman, kecuali dengan ijin-Nya. Dan Allah menimpakan kemurkaan, kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” – (QS.10:100).

Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta

Seperti halnya segala hal gaib lainnya, tentunya kitab mulia (Lauh Mahfuzh) justru juga hanya suatu “contoh-perumpamaan simbolik”. Selain itu, segala kebenaran-Nya pada fakta dan kenyataannya memang tersebar dimana-mana di alam semesta (pada hembusan angin dan awan; turunnya air hujan; sinar Matahari atau bintang; siang dan malam; pohon yang tumbuh dan berbuah; hembusan napas dan detak jantung; penciptaan dan kematian makhluk; dan pada tak-terhitung hal lainnya). Maka segala kebenaran-Nya memang pada hakekatnya ‘berada’ atau ‘tercatat’ di alam semesta (bukan di dalam suatu kitab).

“Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta” itu terkadang juga bisa disebut “ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis”, “tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya”, “wajah-Nya”, “sabda, firman, kalam atau wahyu-Nya yang ‘sebenarnya'” dan “Al-Qur’an dan kitab-kitab-Nya lainnya yang berbentuk ‘gaib’, yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya”.

Sedangkan semua sebutan itu hanya berbeda pada fokus, sudut pandang ataupun konteks pemakaiannya. Namun semuanya justru merujuk kepada sesuatu hal yang sama, berupa “segala sesuatu hal yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi / berlaku) dan ‘kekal’ (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta”. Serta hal seperti ini memang semuanya hanya semata hasil dari tindakan atau perbuatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Maha Kekal.

Dalam ‘hati-nurani’, letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya

Lalu “dimanakah letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya?”. Jawaban ringkasnya, “dalam hati-nuraninya”. Lihat pula pada gambar-gambar berikut.

Gambar diagram detail proses berpikir manusia

Gambar diagram sederhana elemen ruh manusia dan fungsinya

Perlu diketahui dari gambar di atas, bahwa pemahaman atas istilah, definisi ataupun fungsi dari tiap elemen pada zat ruh manusia, bisa berbeda-beda pada tiap umat Islam dan alim-ulama. Hal inipun terutama karena memang terkait hal-hal yang ‘gaib’ (tersembunyi). Maka para pembaca diharapkan, agar bisa lebih cermat dan fleksibel dalam menelaahnya, terutama dengan lebih menambah kepekaan batiniahnya, serta juga lebih terfokus kepada fungsi dari tiap elemen ruh (bukan kepada istilah dan definisinya).

Menurut pemahaman penulis misalnya, ‘hati’ dianggap sama dengan ‘kalbu’, namun berbeda daripada ‘hati-nurani’. ‘Hati / kalbu’ dianggap sebagai ‘alat indera batiniah’ pada tiap makhluk (penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif). Maka segala informasi batiniah pada ‘hati / kalbu’, juga dianggap bernilai kebenaran relatif paling rendah (mentah).

Sedangkan segala informasi batiniah pada ‘hati-nurani’, dianggap bernilai kebenaran relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk keyakinan makhluknya), bahkan tidak bisa dilangkahi atau berada di luar pengaruh ‘godaaan’ dari para makhluk gaib. Serta perbedaan antara ‘hati / kalbu’ dan ‘hati-nurani’ relatif mudah dipisahkan. Jika isi ‘hati / kalbu’ terpakai saat awal makhluknya menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi ‘hati-nurani’ terpakai saat berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar / salahnya sesuatu hal.

Proses pemahaman tiap makhluk tentang kebenaran-Nya

Segala informasi yang ‘tiap saatnya’ telah bisa diketahui, dijangkau, ditangkap atau dirasakan oleh semua alat indera fisik-lahiriah pada tiap makhluk, lalu pasti selalu terkirim dan diterima pula oleh alat indera batiniah, pada zat ruhnya (“hati / kalbu”). Sedangkan kepada “hati / kalbu” itu, justru para makhluk gaib juga ‘tiap saatnya’ pasti selalu memberi segala bentuk ilham yang ‘positif-benar-baik’ (dari para malaikat) dan yang ‘negatif-sesat-buruk’ (dari para jin, syaitan atau iblis), sebagai bentuk pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah kepada tiap makhluk lainnya (termasuk tiap umat manusia).

Lalu segala informasi yang ‘murni’ dari semua alat indera fisik-lahiriah, dan beserta segala informasi ‘tambahan’ dari para makhluk gaib, juga ‘tiap saatnya’ pasti selalu diterima oleh “akal”-nya, untuk dipilih, diolah, dinilai dan diputuskannya, sebagai bahan-bahan bagi penyusunan segala bentuk kebenaran atau pengetahuan ‘relatif’ (menurut penilaian ‘relatif’ tiap makhluknya sendiri). Tiap kebenaran ‘relatif’ ini justru pasti tersimpan ke dalam “hati nurani”-nya, yang membentuk keyakinannya dalam menilai segala sesuatu halnya. Makin sering “akal”-nya digunakan, tentunya relatif makin banyak menumpuk segala kebenaran ‘relatif’ dalam “hati nurani”-nya. Segala kebenaran ‘relatif’ makin sempurna (keyakinannya makin kokoh-kuat dan sulit terbantahkan), jika “akal”-nya telah digunakan secara relatif makin obyektif, cermat dan mendalam.

Pada saat paling awal penciptaan zat ruh bagi tiap makhluk, telah ditanamkan-Nya segala “keadaan, sifat atau fitrah dasar”, yang suci-murni dan bersih dari dosa, sekaligus di dalamnya terdapat segala kebenaran atau tuntunan-Nya yang “paling dasar”, dalam hati nuraninya. Termasuk suatu tuntunan-Nya, agar tiap makhluk bisa mencari dan mengenal Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Yang sebenarnya telah menciptakan dirinya dan seluruh alam semesta. Hal ini disebut dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagai suatu bentuk ‘kesaksian’ dari tiap jiwa makhluk, tentang Allah, Tuhan Penciptanya (pada QS.7:172)

Lalu setelah saat penciptaan paling awal itu, segala kandungan isi hati nurani pada tiap makhluk, justru hanya terbentuk dari hasil olahan akalnya. Pada manusia misalnya, hal inipun terutama terbentuk sejak mulai melewati usia akil-baliqnya. Di lain pihak, justru tiap kandungan isi hati nurani juga bisa dipakai kembali oleh akalnya, dalam menilai segala sesuatu halnya, ‘selanjutnya’. Maka amat mudah dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur’an amat banyak anjuran-Nya, agar umat Islam menggunakan akalnya. Serta sebaliknya Allah justru memurkai umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (padaQS.10:100). Karena penggunaan akal memang relatif makin menyempurnakan segala kandungan isi hati nurani (makin memahami tiap kebenaran-Nya / makin mengenal Allah / makin beriman).

Namun jika tiap umat manusia justru telah relatif banyak berbuat amal-keburukan (cenderung mudah terpengaruh oleh informasi dari syaitan dan iblis), tentunya kandungan isi hati nuraninya juga mudah terkotori oleh segala pengetahuan yang negatif-sesat-buruk, sekalipun akalnya memang amat cerdas. Hal inipun tentunya karena segala informasi yang terolah oleh akalnya, justru relatif banyak yang jauh dari kebenaran-Nya (bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’). Juga kecerdasannya cenderung tidak digunakan sebagaimana mestinya, untuk mencari kebenaran, tetapi justru untuk mengabaikan, menyembunyikan atau merekayasa kebenaran, sekecil, sesederhana atau sehalus apapun bentuknya (“sebesar biji zarrah”).

Kesempurnaan pemahaman para nabi-Nya tentang kebenaran-Nya

Seseorang yang telah bisa memiliki segala pemahaman yang relatif amat ‘sempurna’ tentang kebenaran-Nya (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), sehingga bisa menjawab hampir seluruh persoalan kehidupan umat kaumnya ataupun seluruh umat manusia, yang paling penting, hakiki dan mendasar, yang justru telah menjadikannya disebut “nabi-Nya”, dan tiap pemahamannya juga disebut “wahyu-Nya”. Hal ini tentunya relatif mudah dipahami, karena tiap nabi-Nya memang relatif paling memahami kehendak Allah, Tuhan Pencipta alam semesta, dari hasil segala usahanya yang relatif amat keras dalam mempelajari “tanda-tanda kekuasaan-Nya” di alam semesta (“ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis”).

Namun juga relatif mudah dipahami, bahwa ‘kenabian’ justru telah berakhir secara ‘alamiah’, pada nabi Muhammad saw. Karena tiap manusia memang memiliki keterbatasan kapasitas dalam memahami seluruh persoalan kehidupan umat manusia, yang pasti makin berkembang, serta juga memiliki keterbatasan waktu dan kemampuannya dalam melayani seluruh umatnya, yang makin banyak jumlahnya. Sedangkan di jaman dahulu (kehidupan umat relatif sederhana), hal-hal seperti ini masih bisa diatasi hanya oleh seorang nabi-Nya.

Segala kebenaran atau pengetahuan pada tiap manusia (bahkan termasuk pada tiap nabi-Nya), memang pasti bersifat ‘relatif’ (tidak mutlak benar), ‘fana’ (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan ‘terbatas’ (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Namun kebenaran atau pengetahuan ‘relatif’ manusia juga bisa makin ‘sesuai atau mendekati’ kebenaran atau pengetahuan ‘mutlak’ Allah, jika telah diperoleh secara relatif amat ‘obyektif’ dan telah bisa tersusun secara relatif amat ‘sempurna’ (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), seperti halnya segala pengetahuan pada tiap nabi-Nya. Maka pengetahuan seperti ini relatif amat sulit bisa terbantahkan.

Tiap pengetahuan pada para nabi-Nya (wahyu-Nya), yang telah tersimpan di dalam dada-hati-pikirannya, memiliki segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasan, yang relatif amat kokoh-kuat dan lengkap (sulit terbantahkan). Bentuk pengetahuan seperti ini telah biasa disebut “Al-Hikmah”, sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi yang bisa dijangkau oleh umat manusia tentang suatu kebenaran-Nya. Juga seperti disebut di atas, tiap wahyu-Nya tersusun sebagai “satu-kesatuan” yang utuh (saling terkait), bersama seluruh wahyu-Nya lainnya pada tiap nabi-Nya. Tidak ada suatu wahyu-Nya yang berdiri sendiri dan terpisah.

‘Hijab-tabir-pembatas’ antara Allah dan tiap makhluk

Maka tiap wahyu-Nya ataupun Al-Hikmah, adalah tingkat perbedaan terkecil (jarak terdekat / ‘hijab-tabir-pembatas’ tertinggi), antara pengetahuan ‘relatif’ manusia terhadap pengetahuan ‘mutlak’ Allah. Hakekat wujud dari suatu ‘hijab-tabir-pembatas’ antara Allah dan tiap manusia, adalah tiap “tingkat kesempurnaan pengetahuan” manusianya, tentang ‘sesuatu hal’. Tentunya ‘hijab-tabir-pembatas’ itu amat banyak, baik jumlah (jumlah segala pengetahuan), maupun tingkatannya (tingkat kesempurnaan tiap pengetahuannya).

Dari kesempurnaan seluruh pengetahuan pada tiap nabi-Nya (seluruh wahyu-Nya), tentunya iapun telah bisa mencapai berbagai ‘hijab-tabir-pembatas’ tertinggi (baik jumlah maupun tingkatannya). Sedangkan kesempurnaan pengetahuan pada tiap umat manusia biasa lainnya, relatif masih ‘amat jauh’ daripada para nabi-Nya, terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta umat manusia biasa hanya bisa memperoleh ‘Al-Hikmah’, tetapi bukan ‘wahyu-Nya’ (seluruh ‘Al-Hikmah’ yang tersusun relatif amat sempurna).

Sekali lagi, hal ini telah menjadikan para nabi-Nya bisa “amat dekat di sisi-Nya” (di hadapan ‘Arsy-Nya). Dengan kata lainnya, tiap pengetahuan ‘relatif’ milik para nabi-Nya (tiap wahyu-Nya), justru telah bisa “amat dekat” dengan pengetahuan ‘mutlak’ milik Allah, di alam semesta. Namun para nabi-Nya justru mustahil bisa ‘meraih’ atau ‘menyentuh’ ke ‘Arsy-Nya, karena seluruh pengetahuan mereka memang pasti tetap bersifat ‘relatif’, ‘fana’ dan ‘terbatas’. Hal yang serupa tentunya terjadi pula pada segala makhluk lainnya (bahkan termasuk para malaikat utusan-Nya), dengan segala tingkat kedekatannya di sisi-Nya.

Allah dan ‘Arsy-Nya berada dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk

Dari uraian-uraian di atas telah bisa disimpulkan, bahwa Allah, ‘Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) memang berada dalam “hati-nurani” tiap makhluk. Hal ini tentunya sama sekali bukan letak keberadaan yang sebenarnya bagi ‘Zat’ Allah, namun hanya letak pemahaman atau pengetahuan tentang Allah (tentang kebenaran-Nya). Bahkan ‘Arsy-Nya tentunya juga bukan ‘kursi / tahta’ yang sebenarnya bagi ‘Zat’ Allah. Dan kitab mulia (Lauh mahfuzh) tentunya juga bukan tempat yang sebenarnya bagi tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta, yang meliputi seperti: sifat, kehendak, keredhaan, tindakan / perbuatan, hukum / aturan / ketentuan / ketetapan, qadla dan qadar (takdir), kitab-kitab-Nya, dsb, yang selain tentang ‘esensi’ Zat Allah.

Serta suatu pendapat tentang “keberadaan Allah, ‘Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk”, yang justru relatif paling sempurna dan tepat, karena justru bisa mencakup atau mewakili semua ‘dalil naqli’ dalam kitab suci Al-Qur’an, secara ‘sekaligus’, seperti: “di atas ‘Arsy-Nya” (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2,QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), “di langit” (pada QS.67:16), “Maha Dekat” (padaQS.34:50), “dekat” (pada QS.2:186), “lebih dekat daripada urat leher” (pada QS.50:16), “dekat ke jiwa-ruh-nyawa” (pada QS.56:85) dan “dimana-mana” (pada QS.57:4, QS.58:7,QS.2:115). Baca pula penjelasan lebih lengkap di bawah, tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an, jika dihubungkan dengan “keberadaan Allah dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk”.

Di samping itu pula, pendapatnya justru tetap berdasar “ke-Esa-an Allah” (tauhid). Dimana semua manusia, dari jaman ke jaman, yang telah ‘amat sempurna’ bisa memahami ‘suatu’ kebenaran-Nya, maka pemahamannya masing-masing atas kebenaran itu, dalam ‘hati-nurani’-nya, justru pasti ‘sama’ (‘satu’). Hal ini karena segala kebenaran-Nya di alam semesta memang bersifat ‘mutlak’, ‘kekal’ dan ‘universal’, walau juga bersifat ‘gaib’.

Contoh sederhananya, tauhid seluruh para nabi-Nya, dari jaman ke jaman, justru ‘sama’, seperti “Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini berdasar segala hasil usaha mereka yang maksimal, dalam mengenal Allah, Tuhan Pencipta alam semesta. Tentunya tauhid ini juga sekaligus berupa nilai yang bersifat ‘universal’ (tidak tergantung konteks ruang, waktu dan budaya). Serta sebaliknya, segala pemahaman atas keberadaan tuhan-tuhan selain Allah, justru ‘bukan’ hasil usaha yang maksimal dan bersifat ‘universal’.

Di lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa “‘Arsy-Nya, yang amat mulia, agung dan besar, berada dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk”. Hal ini karena kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah memang terkait dengan nilai-nilai kebenaran-Nya, yang tersimpan dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk (terutama para malaikat Jibril dan para nabi-Nya, yang justru telah diyakini relatif paling memahami tiap kebenaran-Nya). Bahkan para malaikat Jibril disebut khusus dalam kitab suci Al-Qur’an, seperti “akalnya amat cerdas” (pada QS.53:6).

Tetapi tiap umat manusia biasa lainnya yang telah relatif sempurna memahami tiap kebenaran-Nya, tentunya juga bisa merasakan tiap kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah dalam ‘hati-nurani’-nya, setelah bisa berhasil menggunakan ‘akal’-nya dengan ‘benar’ (amat obyektif, cermat dan mendalam). Serta sumber yang paling aman, mudah, lengkap dan sempurna, bagi seluruh umat manusia, dalam berusaha mempelajari atau memahami segala kebenaran-Nya di alam semesta (“ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis”), adalah “kitab suci Al-Qur’an”, tentunya sebagai “ayat-ayat-Nya yang tertulis”, yang terakhir.

Penjelasan tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an

Telah diungkap di atas, bahwa keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an, disebut seperti: “di atas ‘Arsy-Nya”, “di langit”, “Maha Dekat”, “dekat”, “lebih dekat daripada urat leher”, “dekat ke jiwa-ruh-nyawa” dan “dimana-mana”. Lalu mungkin timbul pertanyaan, “bagaimana hubungan antara berbagai keberadaan Allah tersebut, dan keberadaan Allah dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk?”. Maka pada tabel berikut diungkap pula penjelasan dan sekaligus hubungannya masing-masing, secara ringkas.

  • Allah bersemayam “di atas ‘Arsy-Nya” (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5,QS.25:59, QS.32:4 dan QS.57:4)

    Ayat-ayat ini jumlahnya paling banyak dan hanya menyebutkan “Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya”, serta justru tidak menyebutkan “di langit”.
    Namun “‘Arsy-Nya” dikaitkan atau disamakan secara tak-langsung dengan “langit”, oleh sebagian dari umat Islam, karena ayat QS.11:7 menyebutkan “‘Arsy-Nya berada di atas air”. Lalu “air” yang dimaksud, dianggap sebagai “air laut”, serta “langit”, yang dianggap berada di atasnya. Di samping itu, juga karena ayat QS.67:16 menyebutkan “Allah berada di langit”. Dan tentunya Allah juga terkadang dianggap berada “di atas”.

    Walau begitu, pendapat yang menyebutkan “Allah berada ‘di langit’ ataupun ‘di atas'”, justru kurang sempurna atau tepat. Karena tiap makhluk bisa menunjuk ‘langit’ dan ‘atas’-nya masing-masing. Juga ‘atas’ bagi suatu makhluk, justru bisa menjadi ‘bawah’ bagi makhluk lainnya. Maka pemahaman bagi ‘langit’ dan ‘atas’, lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas). Apalagi ‘Arsy-Nya memang amat mulia, agung dan besar.

    Bahkan ‘langit’ yang sebenarnya, tertinggi dan sempurna berupa ‘langit batiniah’, yang berada di alam pikiran tiap makhluk, bukan ‘langit lahiriah’ (langit yang biasa dikenal).

    Di lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa ‘Arsy-Nya berada dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk. Karena kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, memang terkait dengan nilai-nilai kebenaran-Nya yang tersimpan dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk (terutama para malaikat Jibril dan para nabi-Nya), yang telah amat sempurna memahaminya. Sehingga iapun bisa mendapat derajat atau kedudukan yang tinggi di sisi ‘Arsy-Nya.

  • Allah berada “di langit” (pada QS.67:16)

    Hanya ayat ini yang langsung menyebutkan “Allah berada di langit”.

    Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin a di atas.
    Namun sekali lagi, segala pendapat yang menyebutkan “Allah berada ‘di langit’, justru kurang sempurna atau tepat. Lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas).

  • Allah “Maha Dekat” (pada QS.34:50)

    Ayat ini terkait dengan sifat Allah, Yang “Maha Dekat”. Tentunya sifat inipun hanya berupa sifat ‘perbuatan’ Zat Allah, dan bukan sifat ‘esensi’ Zat Allah. ‘Esensi’ Zat Allah bahkan mustahil bisa dijangkau oleh para malaikat dan para nabi-Nya sekalipun.

    Segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru bagian yang paling penting dari kebenaran atau pengetahuan-Nya.
    Dimana segala perbuatan-Nya secara lahiriah (melalui sunatullah lahiriah), terwujud atau terlaksana oleh para malaikat, yang menempati tiap partikel-materi-benda.
    Sedangkan segala perbuatan-Nya secara batiniah (melalui sunatullah batiniah), terwujud atau terlaksana oleh aejumlah para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang menempati alam pikiran tiap makhluk lainnya (termasuk tiap manusia).

    Tentunya sifat “Maha Dekat” justru lebih terkait dengan segala perbuatan-Nya secara batiniah (bukan secara lahiriah). Karena alam batiniah ruh atau alam pikiran tiap makhluk, memang berada dalam ‘diri’ makhluknya (dalam jiwa-ruh-nyawanya).

    Di lain pihak, ‘hati-nurani’ tiap makhluk memang salah-satu elemen dari zat ruhnya. Serta segala informasi batiniah pada “hati-nurani”, justru bernilai kebenaran relatif paling tinggi (pembentuk keyakinan batiniahnya), dibanding pada elemen-elemen lainnya. Juga tingkat kebenaran tiap kandungan isi ‘hati-nurani’ justru menunjukkan tingkat kedekatan antara pengetahuan ‘relatif’ makhluknya dan pengetahuan ‘mutlak’ Allah (tingkat kedekatan antara makhluknya dan Allah / tingkat keyakinannya).

  • Allah “dekat” dengan tiap manusia (pada QS.2:186)

    Ayat ini terkait dengan ‘kedekatan’ Allah dengan tiap makhluk (termasuk manusia).

    Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c di atas.

  • Allah “lebih dekat daripada urat leher” tiap manusia (pada QS.50:16)

    Ayat ini terkait dengan ‘pengetahuan’ Allah, Yang juga meliputi segala bisikan isi hati tiap makhluk nyata (termasuk manusia). Sedangkan hati makhluknya memang ‘lebih dekat’ daripada urat lehernya (anak tekaknya). Lebih jelasnya, ucapan tiap makhluk melalui urat lehernya, memang timbul atau terwujud berdasar isi hatinya.

    Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c dan d di atas.
    Namun penyebutan “hati / kalbu” juga kurang tepat (lebih tepat justru “hati-nurani”). Karena menurut pemahaman penulis, segala informasi batiniah pada “hati / kalbu”, bernilai kebenaran relatif paling rendah. Dimana “hati / kalbu” dianggap sebagai “alat indera batiniah” pada tiap makhluk (penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif).

    Di lain pihak, segala informasi batiniah pada “hati-nurani”, bernilai kebenaran relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk keyakinan makhluknya), serta tidak bisa dilangkahi atau berada di luar pengaruh ‘godaaan’ dari para makhluk gaib.

    Perbedaan antara “hati / kalbu” dan “hati-nurani” relatif mudah dipisahkan. Jika isi “hati / kalbu” terpakai saat awal makhluknya menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi “hati-nurani” terpakai saat berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar atau salahnya sesuatu hal.

  • Allah “dekat ke jiwa-ruh-nyawa” tiap manusia (pada QS.56:85)

    Ayat ini terkait dengan ‘kedekatan’ Allah dengan ‘jiwa-ruh-nyawa’ pada tiap makhluk nyata (termasuk manusia), daripada dengan tubuh wadah fisik-lahiriahya.
    Apalagi hakekat dari tiap makhluk memang berada pada ‘zat ruhnya’, dan bukan pada tubuh wadah fisik-lahiriahya.

    Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d e di atas.

  • Allah berada “dimana-mana” (pada QS.57:4, QS.58:7 dan QS.2:115)

    Ayat QS.57:4 terkait dengan ‘keberadaan’ Allah, dimanapun tempat tiap makhluk berada (termasuk manusia). Ayat QS.58:7 terkait dengan ‘pengetahuan’ Allah, Yang juga meliputi segala isi pembicaraan tiap makhluk (termasuk manusia), dimanapun tempat pembicaraannya. Serta ayat QS.2:115 terkait dengan “wajah-Nya”, yang berada dimana-mana di alam semesta (“tanda-tanda kekuasaan-Nya”).

    Hal ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d f di atas.
    Hakekat dari tiap makhluk memang berada pada zat ruhnya. Maka dimanapun tiap makhluk berada, tentunya di situ pula zat ruhnya pasti berada, ataupun sebaliknya.

    Segala sikap, perkataan dan perbuatan dari tiap makhluk memang dikendalikan oleh ruhnya. Maka para malaikat Rakid dan ‘Atid yang memang diutus-Nya, dan memang berinteraksi dengan ‘hati / kalbu’ pada zat ruh makhluknya, tentunya juga pasti bisa mengetahui segala isi pembicaraannya, dimanapun dilakukannya.

    Serta perwujudan segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru dilakukan oleh tak-terhitung jumlah makhluk ciptaan-Nya di alam semesta (terutama para malaikat-Nya). Maka “wajah-Nya” (“tanda-tanda kekuasaan-Nya”), tentunya memang berada dimana-mana di alam semesta, tempat segala ruh makhluk berada.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian atau penjelasan di atas, maka umat Islam mestinya sama sekali tidak perlu saling berselisih atau bahkan saling mengkafirkan, hanya akibat ada perbedaan pendapat tentang keberadaan Allah. Umat Islam justru bisa menyebutnya seperti: “di atas ‘Arsy-Nya”, “di langit”, “di atas”, “Maha Dekat”, “dekat”, “lebih dekat daripada urat leher”, “di hati”, “dekat ke jiwa-ruh-nyawa”, “dimana-mana” dan juga “di dalam ‘hati-nurani'”.

Hal ini karena semua pendapat tersebut memang ada mengandung kebenaran (ada dalil-dalilnya dalam kitab suci Al-Qur’an), walau sedikit berbeda tingkat kesempurnaannya masing-masing. Lebih jelasnya lagi, perbedaan ini hanya berupa perbedaan fokus, sudut pandang dan cara pengungkapannya, walau semuanya justru merujuk kepada sesuatu hal yang ‘sama’. Namun jika keberadaan Allah mestinya dipilih atau disebut, maka secara ‘tekstual-harfiah’ paling tepat “di atas ‘Arsy-Nya”, karena pengungkapannya relatif paling mudah, sederhana dan ringkas. Sedangkan secara ‘hikmah dan hakekat’ paling tepat “di dalam ‘hati-nurani'” (pada bagian yang paling tinggi, mulia dan agung di dalam ‘hati-nurani’).

Hal lebih pentingnya lagi, bahwa tiap pendapat tentang keberadaan Allah, mestinya bukan terkait dengan keberadaan yang sebenarnya bagi Zat Allah, ataupun bukan tentang ‘esensi’ Zat Allah, Yang Maha Esa, Maha Gaib dan Maha Suci, karena tersucikan dari segala sesuatu hal. Namun pendapatnya mestinya hanya terkait dengan “letak pemahaman atau pengetahuan” tiap makhluk, tentang Allah (tentang sifat, kehendak, keredhaan, tindakan / perbuatan, kebenaran / pengetahuan-Nya, dsb), selain tentang ‘esensi’ Zat Allah.

Segala pendapat yang memang berusaha membicarakan, tentang ‘esensi’ Zat Allah, justru pasti melahirkan segala dilema, kegagalan, ‘ketidak sempurnaan’ pemahaman umat tentang sifat-sifat Allah, atau bahkan paling parahnya, melahirkan segala “kemusyrikan”, seperti halnya yang terjadi pada agama-agama ‘musyrik’ (Tuhannya ‘tidak sempurna’, dan berupa seperti: para malaikat, para dewa, manusia biasa, patung / berhala, dsb).

Serta suatu pendapat tentang “keberadaan Allah, ‘Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dalam ‘hati-nurani’ tiap makhluk”, yang justru relatif paling sempurna dan tepat, karena memang bisa mencakup atau mewakili semua dalil naqli ataupun semua pendapat di atas, secara sekaligus. Selain itu, pendapatnya juga tetap berdasar “ke-Esa-an Allah”.

Namun juga pendapat ini tentunya mestinya tetap dijelaskan secara cukup cermat, misalnya: “Dalam ‘hati-nurani’ bukan berada Zat Allah, tetapi berada pemahaman tentang kebenaran-Nya”; “Jika manusia sedang mengingat Allah (berzikir), maka Allah pasti hadir dalam ‘hati-nurani’-nya”; “Allah, Maha mengetahui segala isi hati, sikap, perkataan atau perbuatan manusia, sekecil atau sehalus apapun, kapanpun dan dimanapun berada”; dsb.

Dan harap baca pula buku “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW“, untuk penjelasan yang lebih lengkap, tentang Kembali ke hadapan ‘Arsy-Nya dan Kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, di samping dari topik-topik terkait lainnya dalam buku ini, termasuk untuk mengetahui lebih lengkap, ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an yang mendukung berbagai dalil-alasan bagi tiap penjelasan atau pemahaman di atas.

Wallahu a’lam bishawwab.

Artikel / buku terkait:

Resensi buku: “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW”

Buku on-line: “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW”

Al-Qur’an on-line (teks Arab, latin dan terjemah)

Download terkait:

Al-Qur’an digital (teks Arab, latin dan terjemah) (chm: 2,45MB)

Buku elektronik (chm): “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW” (+Al-Qur’an digital) (chm: 5,44MB)

Buku elektronik (pdf): “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW”(pdf: 8,04MB)

Buku elektronik (chm + pdf): “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW” dan Al-Qur’an digital (zip: 15,9MB)

 

Tentang Syarif Muharim

Alumni Teknik Mesin (KBK Teknik Penerbangan) – ITB – angkatan 1987 Blog: “islamagamauniversal.wordpress.com”

Tulisan ini dipublikasikan di Hikmah, Saduran buku dan tag , , , , , ,, , , . Tandai permalink.

48 Balasan ke Allah dan ‘Arsy-Nya berada dalam hati-nurani tiap makhluk

  1. Agama, Hati, dan Ilahi berkata:

    Assalamu ‘alaikum wr. wb.

    Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah. Dia lah Zat Tuhan Yang Maha Sempurna. Penjelasan Pak Syarif sangat mendukung kearifan akal untuk menjangkau akan keluasan ilmu Allah.

    Bagi siapa pun, kaum mukmin atau kafir, sangat sulit untuk memaklumi esensi Zat Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Akal, sebagai salah satu karunia Allah yang dianugerahkan dalam ketetapan-Nya bagi umat manusia, adalah salah satu wujud akan kemahabesaran-Nya dalam penciptaan langit dan bumi.

    Akan tetapi, sebagai Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana, Allah telah berkehendak untuk menjadikan akal manusia ‘dapat’ memahami Allah di dalam kekuasaan-Nya. Al-Qur’an yang mulia sebagai Kitab-Nya telah menjelaskan aspek-aspek lahiriah, juga batiniah, terkait dengan kemahakuasaan Allah.

    Atas dasar itu, banyak kaum mukmin yang telah berjuang, dengan segala keterbatasannya, untuk menangkap setiap kalimat Allah yang ditulis di dalam kitab-Nya untuk mencapai apa makna di balik kalimat-kalimat-Nya.

    Kata, kata-kata dan kalimat Allah memiliki keluasan makna yang tidak seluruh makhluk-Nya dapat memahaminya, kecuali di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya dianugerahkan oleh Allah Al-Hikmah (pemahaman mendalam akan kalimat-kalimat Allah).

    Allah Yang Maha Pencipta berkehendak agar kaum mukmin memahami bagaimana sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi dirinya (orang-orang beriman). Al-Qur’an yang mulia bukanlah sebatas ‘bacaan’ yang mencakup penjelasan-penjelasan Allah dalam kedudukan-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, melainkan mendudukkan Diri-Nya dalam ketidakkuasaan umat manusia, jin, bahkan malaikat-Nya sekalipun, memahami siapakah Dia?

    Adakah yang mengetahui Dia (Allah) sebagai “tiada Tuhan kecuali Allah”? Kalimat ini (La ilaha illallah) merupakan sesungguhnya kesaksian kaum beriman di dalam ketauhidannya akan Ada-Nya Dia (Allah) di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya. Dunianya (tempat di mana manusia berada) tidaklah sama dengan Keberadaan-Nya (Wujud Allah di dalam keluasan ilmu-Nya), sekalipun telah dijelaskan akan hakikat-Nya dengan pemahaman akal yang sangat terbatas.

    Adakah akal manusia ‘mampu’ mengetahui bahwa Dia (Allah) itu berada di dalam dirinya atau jiwanya atau hatinya atau ruhnya? Akal, dengan segala keterbatasannya, pasti takkan mampu mengetahui Wujud Keberadaan-Nya di dalam keluasan ilmu-Nya. Akal, dalam keutuhan sebagai wujud fisik-lahiriah manusia, telah ditetapkan untuk memikirkan dunianya, sebagai makhluk ciptaan Allah, dan bukan diperintahkan untuk memahami esensi Zat Tuhannya.

    Karena itu, bukanlah akal yang dipersiapkan oleh Allah untuk mengerti bagaimana esensi Zat Allah itu. Al-Qur’an yang mulia tidak menjelaskan esensi Zat Allah bukan berarti meniadakan Ada-Nya di dalam keluasan ilmu-Nya, melainkan dengan kehendak-Nya Allah bersatu di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya yang tak terjangkau oleh pengetahuan akal-lahirnya. Inilah yang sulit dipikirkan oleh akal, selain hanya dapat menangkap pemahaman siapakah Dia (Allah) itu?

    Ada Dia di dalam Jiwanya?!

    Adakah bahwa Allah Yang Maha Mulia akan ‘Hadir’ di dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh kaum beriman? Adakah yang disebut ‘Arasy Allah berada di dalam ruhaniah kaum mukmin? Inilah pertanyaan, sekaligus pemberitaan, akan hakikat-Nya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana di dalam Wujud kekuasaan-Nya.

    Adalah benar sekiranya “hati-ruhaniah manusia” orang beriman terliputi oleh keberadaan Dia (Allah) sebagai Pemilik Kebenaran. Hati (qolbun) di dalam keberadaanya sebagai zat yang tak terjangkau oleh akalnya (manusia) sendiri telah ditetapkan oleh Allah menjadi “Tempat” Bersemayam Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.

    Kata “Tempat” tidak bermakna sebagaimana dipahami oleh akal sebagai ‘tempat’ keberadaan makhluk-Nya. Allah Bersemayam di dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh bukan mengambil pemahaman sebagaimana yang ditangkap oleh keterbatasan pengetahuan akal, selain kata tersebut berupaya mempertegas akan hakikat “Kehadiran” Dia Yang Maha Sempurna.

    Adakah “Kehadiran” memiliki pemahaman yang sama sebagaimana ‘hadir’ makhluk-Nya? Ternyata tidak juga sama. Allah “Hadir” tidak dibatasi oleh ruang dan tempat sebagaimana ‘hadir’ makhluk-Nya yang dibatasi ruang dan tempat, serta arah dan waktu (berbagai dimensi lahiriah maujud-Nya). Sekali lagi tidak!

    Istilah tersebut bermakna simbolik agar dapat dipahami akan “Keberadaan-Nya,” yang juga tidak bermakna sebagaimana ada-nya makhluk-Nya. Istilah tersebut berdiri sendiri, sebagaimana Allah Berdiri Sendiri tanpa pertolongan makhluk-Nya. Akan tetapi, istilah-istilah tersebut diperlihatkan untuk menjadi bahan perenungan akan Ada-Nya Dia sebagai Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

    Karena kebijaksanaan-Nya, maka Allah Yang Maha Mulia menjelaskan di dalam firman-Nya dengan bahasa yang dipahami oleh manusia (basyar). Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui menurunkan wahyu melalui perantaraan Jibri a.s dengan bahasa Arab ke dalam hati Nabi-Nya agar dapat dipahami.

    “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Yusuf: 2).

    “Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah: 97).

    Oleh karena itu, Allah Yang Maha Mulia telah menjelaskan bahwa ayat-ayat-Nya itu mengandung penuh Al-Hikmah (pemahaman mendalam tentang ayat-ayat-Nya). Allah telah berfirman: “Demi Al Qur’an yang penuh hikmah” (QS. Yaasin: 2).

    Hal ini mempertegas akan keluasan ilmu Allah Yang Maha Mengetahui. Kata “Al-Hikmah,” di dalam pemahaman konteks keindonesiaan, bermakna Allah Maha Bijaksana telah menguraikan kalimat-kalimat-Nya untuk dipahami oleh kaum yang mengimani-Nya.

    Oleh karena itu, kata “Al-Hikmah” telah dijadikan oleh Allah untuk menegaskan bahwa siapa pun, khususnya orang-orang yang telah menaati-Nya atas perintah dan larangan-Nya sesudah ada penjelasan di dalam kitab-Nya, yang dianugerahi Al-Hikmah dia mendapati “khoiron katsiro” atau kebaikan yang banyak.

    “Allah menganugrahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan (karunia) yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS. Al-Baqarah: 269).

    “Kebaikan yang banyak” didatangkan oleh Allah ke dalam jiwanya atau hatinya atau dirinya atau ruhnya yang menyebabkan orang mukmin tersebut dapat memahami kehendak Allah atas dirinya atau hatinya atau jiwanya atau ruhnya. Maka, berlakulah ketetapan Allah untuk orang tersebut Dapat Memahami Secara Mendalam atas ayat-ayat Allah Yang Maha Pencipta sekalipun dia tidak banyak ‘membaca’ harfiah yang tertulis di dalam catatan-catatan manusia yang telah menggunakan pemikirannya mengenai penafsiran keluasan ilmu Allah Yang Maha Bijaksana.

    Keluasan ilmu Allah memenuhi jiwa atau diri atau hati atau ruh orang yang mendapati Al-Hikmah. Luasnya ilmu Allah meniadakan pemahaman dirinya atau jiwanya atau hatinya atau ruhnya bahwa Dia (Allah) Bersemayam di dalamnya. Yang lahir di dalamnya adalah bahwa keluasan kasih sayang Allah telah dapat dirasakan dan dinikmati sebagai karunia terbesar bagi jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya.

    Perlukah dia (mukmin yang memperoleh Al-Hikmah) memaksakan untuk secara terus menerus memandang Wajah-Nya, yang di dalam kekuasaan-Nya, Dia (Allah) telah menunjukkan karena kemahabijaksanaan-Nya menyerupai wajah sang hamba? Tentu tidak! Akan tetapi, Allah Yang Maha Berkehendak telah ‘memampukan’ sang hamba menerima Kehadiran-Nya di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya.

    Allah Yang Maha Mulia telah rido ‘membuka’ tabir kegoiban, sehingga dia telah sampai kepada yang dijanjikan oleh Allah di dalam firman-Nya, bahwa “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi: 110).

    Allah yang memampukan hamba-Nya memandang Wajah-Nya di dalam keterbatasan akalnya sehingga hanya jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya yang mendapati Ada Dia di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya. Diri-Nya seolah diri-nya yang tak terjangkau oleh penglihatan mata (dhohirnya). Allah Yang Maha Mulia telah berkenan untuk memfungsikan mata hatinya berhadapan dengan keluasan kasih sayang-Nya di setiap kehendak-Nya Berada dengan keridoaan-Nya.

    ‘Arasy Allah Yang Maha Mulia takkan mungkin menjauh dari-Nya karena di sanalah Kerajaan-Nya Berada di dalam keluasan penciptaan makhluk-Nya. Begitu simbolik kalimat ini yang dapat ditangkap oleh pemahaman akal manusia yang sangat terbatas. Kemahabijaksanaan Allah lah yang telah memampukan orang yang didekatkan-Nya (muqarrobin) ‘dapat’ mengetahui ke ‘arah’ mana kehendak Allah berada di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya.

    Pendapatku Tentang Tulisan Pak Syarif

    Pak Syarif sudah berupaya mengurai pemahaman “Allah dan ‘Arasy-Nya berada di dalam ‘hati-nurani’ Tiap Makhluk” mendasarkan kepada pengetahuan lahir-jasmaniah yang diperoleh berdasarkan kajian akal terhadap firman Allah Yang Maha Mulia di dalam konteks ketauhidan seorang hamba.

    Hal demikian tidak menjadikan apa yang dikaji berseberangan dengan hakikat Keberadaan Allah sebagaimana yang ditangkap oleh pengetahuan ‘akal-jasmaniah manusia’ orang yang beriman kepada keluasan ilmu Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Menguasai jiwa atau diri atau hati atau ruh hamba-Nya.

    Adakah keluasan ilmu manusia telah mendapati bahwa Allah sebagai Tuhan Yang Maha Penyayang kepada orang-orang beriman menyisihkan kehadiran-Nya di dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh Pak Syarif? Inilah yang belum diungkap oleh Pak Syarif ketika mengumpulkan bukti-bukti firman Allah sebagai rujukan dalam kajian mengenai Keberadaan Allah di dalam keluasan kasih sayang-Nya.

    Padahal, menurut hematku, kajian ini sudah sangat memadai untuk segera melangkah kepada ketaatan jiwa atau diri atau hati atau ruh terhadap perintah Allah Yang Maha Mengetahui isi hati, sebagaimana firman Allah berikut:

    “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf: 205).

    Al-Qur’an telah lama menegaskan adanya perintah Allah Yang Maha Mulia kepada orang-orang beriman, termasuk salah satu di antaranya adalah ayat di atas. Maka, tak ada alasan akal untuk mengurai lebih jauh bahwa seorang hamba dapat melupakan Tuhannya sendiri, yang telah Bersemayam di dalam jiwa atau diri atau hati atau ruh manusia yang beriman, sampai dia tak dijumpai Tuhannya!

    Oleh karena itu, sekiranya Pak Syarif tidak berkeberatan memenuhi perintah Allah pada ayat di atas, maka hati yang Allah rido akan Bersemayam di dalamnya pasti terjadi sebagaimana penjelasan-Nya di dalam Al-Qur’an.

    Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana menjelaskan kekuasaan-Nya kepada kaum yang yakin di dalam jiwanya atau dirinya atau hatinya atau ruhnya, bukan di akalnya. Kehadiran-Nya sejalan dengan ketundukan dan kepatuhan kepada apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi hanya Bersemayam kepada hati yang mukhlis mengikuti perintah dan larangan-Nya, bukan karena kecerdasan akal-lahiriahnya tanpa melibatkan kecerdasan hatinya atau jiwanya atau dirinya atau ruhnya.

    Tak mungkin bagi Allah akan rido Bersemayam di hati yang hatinya tidak menyebut-nyebut nama Tuhannya sendiri. Perintah-Nya agar berdzikr di dalam hati atau jiwa atau diri atau ruh ditujukan agar tidak melupakan-Nya di waktu pagi dan petang, bahkan di setiap keadaan (di waktu berdiri atau di waktu duduk atau di waktu berbaringnya). Allah telah menamakan orang-orang berakal (Ulil Albab) dikaitkan dengan hatinya tak pernah melupakan Allah (dzikir), bertafakur, memuji Allah dan memohon perlindungan dari siksa api neraka. Allah telah menegaskan hal demikian di surat Ali Imron ayat 190-191.

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imron: 190).

    “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imron: 191).

    Demikian, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

    Salam dari jauh,

    Ahmad

    • Wa ‘alaikum salam wr, wb,.
      Terima kasih atas penegasannya p’ Ahmad.
      Makna “keberadaan Allah” di atas mmg sama sekali tidak terkait dgn keberadaan Zat Allah ataupun dgn ‘esensi’ Zat Allah, yg pasti mustahil bisa dijangkau oleh segala makhluk-Nya. Tetapi hanya semata terkait dgn keberadaan pemahaman makhluk-Nya ttg Allah (lebih tepatnya, ttg kebenaran-Nya di alam semesta). Maka jika umat makin memahami kebenaran-Nya, Insya Allah, hatinyapun bisa makin mengenal dan dekat kepada-Nya.
      Namun ‘kedekatan’ inipun pasti ada batasnya, krn makhluk mmg pasti amat terbatas akal dan pemahamannya, ttg segala sesuatu hal di alam semesta.
      Juga terima kasih atas tambahannya p’ Ahmad, yg lebih-kurangnya saya tangkap, sebagai bentuk kelanjutan dari hasil pemahaman di atas, khususnya utk senantiasa selalu berzikir kepada-Nya kapanpun, sambil berdiri, duduk ataupun berbaring.
      Alhamdulillah, sy selalu berzikir hampir tiap saatnya, di samping juga masih selalu bertafakur, walaupun tlh cukup byk hasilnya, yg terungkap melalui buku “Menggapai”.
      Dan saya akan lebih berterima kasih lagi, jika p’ Ahmad berkenan utk bisa ikut menyempurnakan isi buku tsb, walaupun mmg telah sengaja disusun hanya semata berdasar keyakinan pribadi saya.
      Salam kembali.

  2. ev berkata:

    untuk bisa mendzikiri-Nya sesuai dengan petunjuk-Nya. kita harus memenuhi perintah-Nya “fas aluu ahla dzikri inkuntum laa ta’lamuuna”
    yaitu bertanya kepada ahli dzikir (yaitu seorang /hamba Allah yang di utus mewakili diri-Nya dzat yang Allah asma-Nya yang wajib wujud-Nya) jika kamu tidak tahu.
    sebab Allah itu adalah nama, setiap nama pasti ada yang punya.

    • Terima kasih ibu Evi.
      Saya setuju, umat Islam perlu banyak bertanya kepada para alim-ulama yg telah relatif tinggi ilmu agamanya, terutama pd saat2 awal umat mempelajari ajaran2 agama Islam, secara makin mendalam, dan agar umat tdk terlalu menyimpang pemahamannya. Serupa halnya saat umat manusia memerlukan tuntunan dan pengajaran-Nya dari para nabi-Nya (memerlukan wahyu-Nya), utk bisa memahami berbagai kebenaran-Nya.
      Persoalannya, setelah berakhirnya kenabian pd nabi Muhammad saw, hampir tdk ada lagi umat manusia yg benar2 memiliki kesempurnaan pemahaman ttg kebenaran-Nya (relatif amat lengkap, mendalam. konsisten, utuh dan tdk saling bertentangan, secara keseluruhannya), terutama ttg hal2 gaib dan batiniah.
      Bahkan para alim-ulama ahli ilmu kalam dan ilmu fiqih yg plg terkemuka sekalipun, justru amat berragam / berbeda2 pemahamannya ttg berbagai halnya. Pada akhirnya, tiap umat Islam mestinya bisa selalu terus-menerus berusaha mencari pemahaman2, yg makin kokoh-kuat segala dalil-alasannya dan sekaligus makin lengkap segala penjelasannya, di antara segala pemahaman yg berkembang di kalangan umat.
      Juga tentunya saya setuju, bahwa ‘wujud’ adalah salah-satu sifat wajib Allah. Apalagi ‘wujud’ adalah sifat yg paling dasar dari tiap zat, yg menunjukkan bahwa zat itu mmg benar2 telah terbukti keberadaannya. Maka sifat ‘wujud’ ini sering disebut pula dgn ‘ada’.
      Namun ada sebagian umat manusia yg telah keliru beranggapan (terutama lagi umat2 agama musyrik), bahwa sifat ‘wujud’ atau ‘ada’ menunjukkan Zat Pencipta mestinya bisa ‘dilihat’, baik di dunia dan/atau di akhirat (Zat Pencipta dianggapnya mesti bisa dilihat atau dibayangkannya).
      Padahal telah jelas dlm kitab suci Al-Qur’an, bahwa Zat Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Gaib justru sama sekali tidak bisa ‘dilihat’, dgn mata lahiriah ataupun mata batiniah, di dunia ataupun di akhirat, serta bahwa Zat Allah sama sekali berbeda drpd segala zat ciptaan-Nya. Padahal umat manusia juga sama sekali tdk bisa melihat segala sesuatu hal, ttg ‘tiap’ zat ciptaan-Nya (ruh, benda yg terkecil dan terbesar, mediator gravitasi, bau, udara, dsb), apalagi ttg Zat Allah.
      Tiap makhluk hanya semata bisa melihat atau menyaksikan kebenaran-Nya di alam semesta ini. Maka “makin banyak memahami kebenaran-Nya di alam semesta (pemahaman tentunya mestinya juga disertai dgn pengamalan)” sama halnya dgn “makin mengenal-Nya” atau “makin dekat dengan-Nya” atau “makin beriman”.
      Keterangan “org2 yg beriman akan bisa menyaksikan Allah di Hari Kiamat (di alam akhirat)” mestinya ditafsirkan sbg “org2 yg beriman akan bisa makin jelas memahami tiap kebenaran-Nya, krn di Hari Kiamat itu, Allah mmg akan membukakan tiap kebenaran-Nya, utk menuntaskan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia”. Juga keterangan “Allah ataupun wajah-Nya ada dimana-mana” mestinya ditafsirkan sbg “kebenaran-Nya ada dimana-mana”.
      Wallahu a’lam bishawwab.

      sumber : http://islamagamauniversal.wordpress.com/2012/02/08/allah-dan-arsy-nya-berada-dalam-hati-nurani/

Leave a comment